RAMADHANKU DULU

RAMADHANKU DULU
@1970. 1.Ayahku, 2.adik.ku Sonfitroini; 3.abu.ilham. 4.Adikku ragil Sholhan Fanani; 5.Awaludin

Sampai lulus SMP, 1974 Saya tinggal bersama orang tua.
Disebuah kampung kecil dikelilingi sawah. Dekat kota kecamatan dan hanya dipisahkan kali Tirtomoyo anak Bengawan Solo.
Setiap jelang Ramadhan anak-anak ikut-ikutan orang dewasa membersihkan masjid. Tidak perlu dipel seperti masid jaman Now. Karena lantainya masih tanahliat yang ditaburi pasir.
Yang diperlukan adalah menyirami dengan air supaya tidak berdebu. Diatasnya baru dipasang “kepang”. Kepang adalah anyaman bambu yang biasa dipakai untuk menjemur gabah. Baru diatasnya dipasang Tikar yang dianyam dari mendong.
Mendong adalah salah satu jenis rumput yang hidup di rawaTanaman ini bisa juga tumbuh di daerah yang berlumpur, tempat yang selalu tergenang air. Biasanya tumbuh dengan panjang lebih dari 1 meter. 
Tugas anak-anak adalah mencuci tikar. Acara ini yang paling menyenangkan. Karena mencucinya di Kali. Setelah selesai dicuci dijemur di “Klatakan” yaitu pinggiran sungai yang terhampar batu-batu kecil yang bersih. Sambil menunggu tikar kering inilah saya dan anak-anak sebaya mandi di Kali. Sambil bermain berlari-lari, talanjang lagi.

Sehari sebelum Ramadhan. Sholat dhuhur selesai tunaikan. Anak-anak berebut menabuh Bedug. Bedug dipukul bertalu-talu sebagai tanda kalo hari esok mulai puasa. Rasanya senang ketika giliran tiba. Dengan semangat dan keyakinan akan mendapat pahala, saya pukul Bedug sekeras-kerasnya dengan irama yang khas.
Dari waktu dhuhur sampai asar anak-anak ramai di masjid. Ada yang brgerombol mengerubiti bedug menunggu giliran. Ada juga yang tidur-tiduran ditikar yang sudah rapi. Ketika sholat asar slesai mereka pulang ke rumah.

Saya paling suka ikut-ikutan ke dapur. Ibu saya dibantu istrinya Lik Timin. Kami memanggilnya Lik Sumi. Mereka sibuk mempersiapkan makanan untuk saur yang pertama. Dan juga menyiapkan Nasi bungkus yang akan dibawa ke masjid. untuk tarawih di hari pertama.
Selama romadhon di jadwal beberapa keluarga bertugas membawa nasi bungkus kemasjid. Nasi bungkus itu dinamakan “Tempelan”. Ada yang dibungkus daun pisang, ada juga yang dibungkus daun jati.

Selesai sholat tarawih, makanan ini dibagikan.
Ada yang makan bareng dimasjid, adapula yang dibawa pulang.
Ada beberapa yang tadarus dimasjid, namun lebih banyak yang pulang.
Di jalan menuju masjid terlihat terang. Dibanding jalan lainnya. Tiap rumah memasang lampu minyak, yang disebut “Ting.” Sampai akhir tahun 70.an tradisi itu masih ada. Dan mulai berubah sejak Listrik masuk desa tahun 80.an.

Hari Raya Idul Fitri adalah hari kemenangan.
Rumah orang tua saya boleh dikatakan nyambung dengan masjid.
Keluar pintu dapur belakang menyambung dengan sumur yang dipakai bersama dengan keluarga siwo Toyibah kakaknya bapakku. Apabila kemasjid bisa lewat rumahnya siwo ini. Pintu sampingnya lansung ke halaman masjid.
Selesai sholat ied dari masjid langsung Sungkeman ke rumah siwo-Budeku.
Setelah selesai saya mencari teman seusia. Melanjutkan “ujung” yakni berkunjung ke rumah2 tetangga. Jalan kaki ramai-ramai. Mendatangi rumah-rumah tetangga. Sungkem, untuk bersalaman. Hampir setiap Rumah menyediakan makanan dan minuman. Untuk dihidangkan kepada siapa saja yang datang.
Ada rumah-rumah Faforit yang mesti didatangi. Karena makanan yang dihidangkan sangat istimewa. Ada lemper, ada jenang ketan, Ada wajik. Sedangkan jadah dan lempeng ketan bakar dihidangkan dihampir setiap rumah.
Sungguh kenangan waktu kecil yang tak terlupakan.

Komentar

USIAKU 60 TAHUN

RIWAYAT AZAN DAN IQOMAT

UMUR YANG BAROKAH

IBU-9- (BODO LONGA-LONGO ORA KOYO KEBO)