MUHI SEKOLAHKU, KRAPYAK PONDOKKU
MUHI SEKOLAHKU, KRAPYAK PONDOKKU
Silaturahim apalagi dengan ulama besar tentu merupakan bagian dari perjalanan spiritual yang akan mewarnai perjalanan hidupku.
Saya semakin bangga dengan bapakku, walau hanya Lulusan Sekolah Rakyat yang tinggal di kampung, 30km jauhnya dari ibukota kabupaten, Namun semangat mendidik anak-anaknya luarbiasa. Dengan penuh keyakinan bahwa Warisan Iman dan Ilmu itu jauuuhh lebih utama daripada Warisan Harta. Tentu bapakku menyadarai bahwa tidak banyak harta yg bisa diwariskan kepada 6 anak-anaknya. Bapakku meyakini bahwa Pendidikan anak-anak dan masyarakat perlu mendapat perhatian khusus agar masa depanya lebih baik. Tidak mengherankan, ketika saya masih sekolah di madrasah akhir tahun 60.an rumah bapakku di jadikan sekolah TK “Bustanul athfal Aisyiah” yang masuk pagi hari dan sorenya di pakai sekolah PGA Muhammadiyah. Sekolah PGA ini guru-gurunya berasal dari guru-guru SMP di kota kecamatan dan juga beberapa orang Guru SD maupun madrasah. Sayang Sekolah ini akhirnya ditutup sebelum saya lulus SD. Penyebab Utamanya karena kesulitan beaya dan susahnya mencari tenaga pengajar.
Mas Badrun adalah sepupuku anak dari kakak tertua ibuku.
Sudah lima tahun jadi santri disitu. Diantar mas Badrun kami sowan ke ndalem bapak
KH.Ali Maksum.
Santrinya berasal dari berbagai daerah antara lain Gunung Kidul, Wonosobo, Magelang, Cirebon, ada beberapa orang yang dari Bengkulu dan Jambi. Ada 4 orang yg sudah mahasiswa. Sebagian besar santri Aliyah. Hanya ada 3 anak yg sekolahnya di luar pesantren.
Atas pertimbangan itulah bapak saya memutuskan agar saya tinggal di Blok D. Selanjutnya ditemani mas Badrun, kami lapor ke kantor Pondok, yang berada didepan pintu Gerbang. kami sampaikan bahwa Saya sekolah di SMA Muhi dan ingin tinggal dipondok. Alhamdulillah, diterima bapak Ali As’at sebagai Lurahnya pondok. Beliau adalah alumni Fakultas Syariah IAIN.
Sejak saat itulah, saya menikmati kehidupan pesantren siang malam sampai pagi berada di lingkungan Pondok. Pagi sampai siangnya Saya sekolah di SMA dengan mengayuh sepeda "Lanang". Suatu tradisi di muhi minggu pertama diadakan acara “Khutbatul-Arsy”, masa orientasi. Acara yang sangat mengesankan. Alhamdulillah sy berkenalan dengan siswa yang juga tinggal di pondok Krapyak. Syaeful Fatah namanya. Ketika kelas 1, dia beda kelas namun selalu bersama dalam satu kelas ketika kelas 2 sampai lulus. Setelah satu tahun bersama mas Badrun dalam satu kamar yang berisi empat orang, kakak sepupuku ini lulus Aliyah dan pindah ke Lampung ikut kakaknya.
Komplek lainnya yg merupakan Lahan pesantren awal. Di Blok K ini sebagian besar penghuninya mahasiswa. Ada yg kuliah di UII ada juga di IAIN bahkan ada yg kuliah di Akademi akutansi. Satu tahun tinggal di Blok ini saya lulus SMA. Adik saya tetap tinggal disini selama 3 tahun sampai lulus SMA.
1975-1977
Setelah berganti bus di terminal Solo, akhirnya Saya sampai di
Terminal bus Yogyakarta yang berada di Jalan Brigjen Katamso. Bapakku turun
lebih dulu lewat pintu belakang sambil menenteng tas dan Runselku. Saya berdiri di samping bus, memegangi rangsel menunggu barang bawaan. Sedangkan bapakku mengawasi
sepeda yg diturunkan kenek dari atas "kap
Bus" dan menerimanya.
Sepeda “lanang” yang catnya sudah kusam itu dinaiki bapakku. Saya naik becak bawa barang dan Ransel mengikuti dibelakangnya menuju Ngupasan. Tujuannya adalah di jalan Patuk, tempat kos yang pernah ditinggali mas Hadi kakakku, depannya ada masjid yg ramai jamaah sholat 5waktu.
Sepeda “lanang” yang catnya sudah kusam itu dinaiki bapakku. Saya naik becak bawa barang dan Ransel mengikuti dibelakangnya menuju Ngupasan. Tujuannya adalah di jalan Patuk, tempat kos yang pernah ditinggali mas Hadi kakakku, depannya ada masjid yg ramai jamaah sholat 5waktu.
Kakakku yang sulung ini awal th 70.an kuliah di Yogya, aktif di
masjid Suhada dan organisasi HMI sehingga banyak kenal dengan para aktifis. Bahkan
pernah “nderek” di rumahnya pak AR.
Setelah lulus kuliah tahun 1974 kerja di Jakarta.
Sepeda “Lanang” yang akan saya pakai sekolah itu, dulunya adalah sepeda yang dipakai kakakku ketika kuliah di Yogya.
Sepeda “Lanang” yang akan saya pakai sekolah itu, dulunya adalah sepeda yang dipakai kakakku ketika kuliah di Yogya.
Kakakku jugalah yang mendaftarkanku masuk di SMA Muhammadiyah 1
(bersubsidi) Yogyakarta.
Setelah melalui test tertulis dan wawancara, awal tahun 1975, saya diterima secara resmi sebagai siswa SMA
Muhammadiyah 1 Yogya. Lokasi SMA ini tepatnya di
Jalan Kapten Tendean No.1B, Patangpuluhan. Sekarang digunakan sebagai SMAM.3. Tahun merupakan awal saya hidup mandiri di rantau, meninggalkan kampung
halaman.
Sehari sebelum masuk sekolah saya diajak bapakku naik Becak
ke Jalan Cik Di Tiro. “Ayo sowan pak AR”,
kata bapakku, saya belum tau siapa itu pak AR. Sesampainya di alamat rumah yang
dituju, disambut seorang bapak yang mengenakan sarung dan berpeci. Bapak ini seusia bapakku namun lebih gemuk. Bapakku bertanya apa betul ini rumahnya bapak
AR? “Inggih
Leres pak, mongo-monggo pinarak nglebet”. Jawab beliau sambal mempersilakan kami masuk.
Rupanya bapakku juga belum pernah ketemu yang namanya pak AR.
Kami diterima diruang tamu. Kami duduk di kursi rotan saling berhadapan . Beliau ini sangat santun, ngomongnya menggunakan Bahasa jawa halus. Belakangan saya baru paham bahwa pak AR itu adalah KH AR FACHRUDIN Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Bapakku mengenalkan diri berasal dari kampung dan menyampaikan perkembangan kegiatan Muhammadiyah. Juga menyampaikan rasa Syukur, alhamdulillah saya sebagai anaknya diterima masuk sekolah SMA Muhi.
Kami diterima diruang tamu. Kami duduk di kursi rotan saling berhadapan . Beliau ini sangat santun, ngomongnya menggunakan Bahasa jawa halus. Belakangan saya baru paham bahwa pak AR itu adalah KH AR FACHRUDIN Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Bapakku mengenalkan diri berasal dari kampung dan menyampaikan perkembangan kegiatan Muhammadiyah. Juga menyampaikan rasa Syukur, alhamdulillah saya sebagai anaknya diterima masuk sekolah SMA Muhi.
Silaturahim apalagi dengan ulama besar tentu merupakan bagian dari perjalanan spiritual yang akan mewarnai perjalanan hidupku.
Saya semakin bangga dengan bapakku, walau hanya Lulusan Sekolah Rakyat yang tinggal di kampung, 30km jauhnya dari ibukota kabupaten, Namun semangat mendidik anak-anaknya luarbiasa. Dengan penuh keyakinan bahwa Warisan Iman dan Ilmu itu jauuuhh lebih utama daripada Warisan Harta. Tentu bapakku menyadarai bahwa tidak banyak harta yg bisa diwariskan kepada 6 anak-anaknya. Bapakku meyakini bahwa Pendidikan anak-anak dan masyarakat perlu mendapat perhatian khusus agar masa depanya lebih baik. Tidak mengherankan, ketika saya masih sekolah di madrasah akhir tahun 60.an rumah bapakku di jadikan sekolah TK “Bustanul athfal Aisyiah” yang masuk pagi hari dan sorenya di pakai sekolah PGA Muhammadiyah. Sekolah PGA ini guru-gurunya berasal dari guru-guru SMP di kota kecamatan dan juga beberapa orang Guru SD maupun madrasah. Sayang Sekolah ini akhirnya ditutup sebelum saya lulus SD. Penyebab Utamanya karena kesulitan beaya dan susahnya mencari tenaga pengajar.
Setelah sowan Pak AR, bakda dhuhur saya diajak naik Becak
menuju Krapyak. Saat itu saya benar-benar tidak merasakan jauhnya perjalan, karena sambil melihat-lihat ramainya kota
Yogya.
Bapakku menyampaikan maksud dan tujuan sowan kepada Beliau. Alhamdulillah Beliau menyampaikan bahwa saya bisa tinggal di Blok.H. Dari Rumah beliau ke Blok D kami berjalan menyusuri halaman yg berpasir khas tanah Yogya kearah masjid melewai Blok K, Blok B dan Blok A.
Kamarnya mas Badrun berada dilantai atas Tidak ada tempat tidur maupun kasur, hanya terhampar tikar yang dibuat dari daun Pandan.
Kami bertiga duduk dilatas tikar. Mas Badrun memberiahu bapakku bahwa kalo tinggal di Blok H, bayarnya lebih mahal daripada di Blok D. Dan kebanyakan yang tinggal di blok H adalah mahasiswa yang dikenal sebagai anak-anak orang yg berpunya .
Kalo di Blok D, lingkungannya sederhana, langsung tersambung dengan masjid. Penghuninya hampir semuanya masak nasi sendiri. Lauknya ada yang beli diwarung belakang blok, ada pula yang masak sendiri bahkan ada yang hanya dengan kecap dan cabai.
Kamarnya mas Badrun berada dilantai atas Tidak ada tempat tidur maupun kasur, hanya terhampar tikar yang dibuat dari daun Pandan.
Kami bertiga duduk dilatas tikar. Mas Badrun memberiahu bapakku bahwa kalo tinggal di Blok H, bayarnya lebih mahal daripada di Blok D. Dan kebanyakan yang tinggal di blok H adalah mahasiswa yang dikenal sebagai anak-anak orang yg berpunya .
Kalo di Blok D, lingkungannya sederhana, langsung tersambung dengan masjid. Penghuninya hampir semuanya masak nasi sendiri. Lauknya ada yang beli diwarung belakang blok, ada pula yang masak sendiri bahkan ada yang hanya dengan kecap dan cabai.
Santrinya berasal dari berbagai daerah antara lain Gunung Kidul, Wonosobo, Magelang, Cirebon, ada beberapa orang yang dari Bengkulu dan Jambi. Ada 4 orang yg sudah mahasiswa. Sebagian besar santri Aliyah. Hanya ada 3 anak yg sekolahnya di luar pesantren.
Atas pertimbangan itulah bapak saya memutuskan agar saya tinggal di Blok D. Selanjutnya ditemani mas Badrun, kami lapor ke kantor Pondok, yang berada didepan pintu Gerbang. kami sampaikan bahwa Saya sekolah di SMA Muhi dan ingin tinggal dipondok. Alhamdulillah, diterima bapak Ali As’at sebagai Lurahnya pondok. Beliau adalah alumni Fakultas Syariah IAIN.
Sejak saat itulah, saya menikmati kehidupan pesantren siang malam sampai pagi berada di lingkungan Pondok. Pagi sampai siangnya Saya sekolah di SMA dengan mengayuh sepeda "Lanang". Suatu tradisi di muhi minggu pertama diadakan acara “Khutbatul-Arsy”, masa orientasi. Acara yang sangat mengesankan. Alhamdulillah sy berkenalan dengan siswa yang juga tinggal di pondok Krapyak. Syaeful Fatah namanya. Ketika kelas 1, dia beda kelas namun selalu bersama dalam satu kelas ketika kelas 2 sampai lulus. Setelah satu tahun bersama mas Badrun dalam satu kamar yang berisi empat orang, kakak sepupuku ini lulus Aliyah dan pindah ke Lampung ikut kakaknya.
Dua tahun saya tinggal di Blok D, adik saya menyusul diterima di SMA Muhi juga, maka saya pindah ke Blok K, yakni komplek yang dikelola
salah satu Keluarga Kyai. Ada satu kamar kosong yang sudah lama tidak dipakai.
Saya berdua dengan adikku tinggal di kamar ini yang ketika buka jendela langsung berhadapan dengan Jendela kamarnya
KH.Ali Maksum.
Tempatnya persis diseberang rumah Kyai, hanya dipisahkan jalan kecil yg menuju kampung.
Jalan kecil inilah yg memisahkan Blok “H” yang merupakan pengembangan pesantren
oleh KH Ali maksum sebagai kediaman beliau dan anak-anaknya. Tempatnya persis diseberang rumah Kyai, hanya dipisahkan jalan kecil yg menuju kampung.
Komplek lainnya yg merupakan Lahan pesantren awal. Di Blok K ini sebagian besar penghuninya mahasiswa. Ada yg kuliah di UII ada juga di IAIN bahkan ada yg kuliah di Akademi akutansi. Satu tahun tinggal di Blok ini saya lulus SMA. Adik saya tetap tinggal disini selama 3 tahun sampai lulus SMA.
Komentar